Kamis, 10 Juli 2008

Potret Sosial Remaja

Potret Sosial Remaja
23 Jan 2006 08:53:14
Fifin Chahyani R.N.

Membicarakan sinetron remaja tidak terlepas dari masalah melulu percintaan, pergaulan, gaya hidup, serta fashion. Tema-tema seperti itu menjadi wajar. Sebab, pada dasarnya, sinetron merupakan adopsi dari realitas kehidupan, yang kemudian dikemas dalam bentuk karya seni akting di televisi. Seperti ungkapan sutradara senior, Lukmantoro, dalam sebuah situs, "Bentuk-bentuk kesenian yang muncul tak bisa dilepaskan dari realitas sosial yang sedang berkembang."

Ketika dunia remaja identik dengan percintaan dan pergaulan yang terkesan hura-hura, maka hal itu direfleksikan dengan kemunculan sinetron-sinetron remaja yang bertemakan cinta dan pergaulan.

Memang tidak dapat kita mungkiri bahwa sebuah tayangan merupakan komoditas pasar yang cukup berpengaruh, terutama dalam hal meraup keuntungan. Pihak-pihak pembuat tayangan pun menyadari hal tersebut.

Bahkan, tayangan-tayangan itu sering terpengaruh budaya pop yang lebih menekankan estetika-resepsi daripada estetika-kreasi sehingga produk komersial lebih berarti dibandingkan produk yang betul-betul memperhatikan nilai seni dan kreativitas.

Kehidupan yang semakin modern membawa dunia remaja turut larut di dalamnya. Masa-masa pencarian jati diri— yang kerap memunculkan rasa keingintahuan begitu dalam terhadap sesuatu sehingga timbul perilaku-perilaku unik sekaligus aneh pada diri kaum remaja— menjadi tema menarik yang bisa diangkat ke layar kaca. Tentu saja, konsumen primer tayangan sinetron jenis tersebut tidak lain kaum remaja itu sendiri.

Berbekal bintang-bintang akting rupawan membawa dampak rasa ingin "meniru" dalam setiap benak remaja yang menonton. Sebab, mereka cenderung mengidolakan setiap bintang film rupawan dan menganggap bahwa apa yang dilakukan atau dikenakan sang idola merupakan suatu bentuk perwujudan jati diri mereka yang paling sempurna.

Seperti kita tahu, sinetron remaja yang banyak mengadopsi realitas sosial remaja ibu kota menginspirasi remaja-remaja di daerah untuk tampil seperti "yang ada di televisi".

Persoalan percintaan sering mengarah pada seks bebas, keputusasaan karena ditinggal pacar, transaksi cinta, melawan orang tua yang katanya "demi cinta", aborsi. Kemudian, persoalan pergaulan tidak luput dari narkoba, dugem, bergaya hidup mewah, serta persoalan fashion yang identik dengan tren pakaian-pakaian mini, ketat, aksesori-aksesori nan mahal, ponsel canggih, make up berlebihan. Semua itu merupakan gambaran sinetron remaja kita sekaligus refleksi kondisi sosial remaja kita saat ini.

Lihat saja bagaimana adik saya yang masih SMP meminta ponsel berkamera dengan paksa kepada orang tua karena dia memandang sudah saatnya anak seusianya ke mana-mana menenteng barang canggih tersebut.

Ketika ditanya ingin ponsel seperti apa, dia menunjuk sebuah adegan sinetron remaja yang kala itu aktrisnya tengah membawa ponsel di sekolah. Luar biasa sekali pantulan tingkah laku dan penampilan sang aktris dalam sinetron kepada anak SMP di daerah seperti adik saya tersebut.

Namun, kita tidak bisa serta merta menyalahkan pihak-pihak pembuat dan penayang sinetron remaja. Sebab, menurut Kracauer dan Purdy (1996), masyarakat sendirilah yang menghendaki sebuah film itu beredar.

Dengan kata lain, apabila saat ini banyak bermunculan sinetron remaja dan dinamikanya, berarti mentalitas remaja-remaja kita memang menghendaki yang demikian.

Tetapi, kita juga tidak lantas menyalahkan "kondisi sosial" remaja saat ini. Kondisi sosial mereka sekarang bisa jadi merupakan bentuk dari tingkat pengetahuan dan cara berpikir mereka yang semakin kritis. Sebab, teknologi semakin canggih sehingga budaya-budaya luar negeri begitu mudah memasuki dunia remaja kita.

Jadi, tidak salah juga jika remaja punya kondisi sosial yang mengkhawatirkan. Sebab, mereka merupakan sosok yang memang secara alamiah tengah mencari jati diri.

Lantas, siapa yang harus kita persalahkan ? Jawabannya tidak ada. Bukan saatnya kita memikirkan dan menuduh siapa yang salah karena setiap pihak pasti punya rasionalitas masing-masing.

Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi keadaan itu dengan bijak. Sinetron remaja tetap merupakan karya seni yang harus kita hargai sehingga tidak perlu rasanya jika sinetron remaja dihujat atau bahkan dihapus saja dari layar kaca.

Namun ada baiknya kalau konsep sinetron remaja dibuat "santun" agar dampak negative imitation-nya tidak terlalu berlebihan. Remaja sendiri tidak bisa dituntut untuk berubah seperti yang orang tua inginkan. Dunia remaja adalah dunia remaja, suka tidak suka memang harus dilalui. Tinggal bagaimana orang tua, guru, atau kita yang lebih tua bisa memberikan pendampingan, baik secara psikologis maupun sosiologis, agar remaja tidak salah arah dalam memaknai dunia mereka.

Cukup meluangkan waktu untuk sekadar mendampingi mereka ketika menonton televisi serta menjadi "teman" diskusi yang baik bagi mereka. Sederhana bukan?

Fifin Chahyani R.N., cerpenis alumnus Universitas Jember
re : dimuat di jawa pos 23 jan 2006

Tidak ada komentar: