Sabtu, 14 Juni 2008

Keep on Writing !

Kecintaanku pada menulis sangat besar. Dari kecil aku mengawalinya dengan suka menulis di diary. Menulis tentang kejadian-kejadian yang kualami setiap hari dengan bahasaku sendiri. Setiap kali jariku menari-nari diatas kertas, aku merasakan sebuah kenikmatan dan keasyikan yang tiada duanya. Kata demi kata terangkai menceritakan apapun yang ada dalam benakku. Sedih, senang, sakit, kecewa, penyesalan, sampai berkhayal tentang suatu hal, semua kuungkapkan dengan tulisan.
Aku menulis kapan dan dimana saja. Kalau toh tak membawa diary, dengan kertas bekas yang berserakan di jalan pun jadi, asalkan bisa menulis. Aku baru merasa lega kalau semua isi otakku bisa tertuang di dalam tulisan.
Hanya, aku punya masalah yang besar waktu itu. Orangtuaku, terlebih lagi mama, sangat benci dengan kesukaanku yang satu ini. Mereka tak suka kalau aku harus menghabiskan waktuku hanya untuk menulis sesuatu yang tak jelas (menurut mereka). Kata mama, daripada menulis lebih baik ikut membantu mama mengerjakan pekerjaan rumah, menyapu, mengepel, memasak, dan mencuci. Bukan cuma kata-kata pedas yang sering mama lontarkan padaku, tapi pernah suatu kali, dengan beringas mama merobek-robek buku diaryku dan membuangnya ke parit disamping rumah. Aku cuma bisa diam waktu itu. Sesak dada ini melihat mama begitu tega dan akhirnya aku pun menangis tersedu di dalam kamar.
Aku sempat putus asa. Kumaki-maki diriku, kenapa aku bisa suka menulis bukan suka menyapu atau memasak saja, biar mama senang dan bangga punya anak perempuan sepertiku. Tumpukan kertas-kertas yang berisi puisi-puisi kurobek-robek dan kubakar. Panas. Ya...aku seperti membakar diriku sendiri. Bagaimana tidak ? kertas yang berisi tulisan-tulisanku itu adalah jiwaku, hidupku ! Aku berharap, aku tak cinta lagi dengan menulis.
Tapi, semua itu hanya membuatku menyesal dan menderita dari hari ke hari. Mungkin lebih sakit dari orang yang sedang sakaw. Ya aku seperti sakaw menulis, ingin menulis, menulis, dan menulis lagi ! Bahkan sering tanpa kusadari, aku telah menulis lagi. Dan tumpukan kertas berisi tulisanku menghiasi setiap sudut kamarku lagi. Ya Tuhan, aku rasa aku tak bisa berhenti menulis...percuma dan membuatku tersiksa saja. Kupeluk tumpukan kertas itu, aku rindu menulis...
Akhirnya, kuputuskan menulis dengan backstreet (halah, kaya pacaran ajah hehehe). Aku menulis dengan diam-diam. Tanpa sepengetahuan mama dan bapak atau siapapun juga. Biasanya aku menulis pada malam hari hingga pagi mulai menjelang. Tak tidur semalaman tak mengapa, asalkan aku bisa ber”kencan” dengan kertas dan penaku. Sebenarnya di rumah ada komputer, tapi sayang komputer itu diletakkan di ruang tengah, sehingga aku tak bisa menggunakannya dengan bebas. Maklum, komputer itu memang milik “bersama” jadi nggak ditaruh di dalam kamar. Ah, tapi tanpa komputer pun aku tetap bisa menulis kok.
Waktu demi waktu berlalu. Seiring dengan itu, mama dan bapak tahu kalau aku masih saja menulis tak jelas. Omelan pun tak bisa kuhindari. Dibilang aku pemalas lah, nggak becus apa-apa lah, sampai mereka memberi harga mati bahwa menulis itu adalah kegiatan yang tidak berguna sama sekali !!! Hiks...hiks...hiks...kalau mereka mengatakan begitu, sama saja mereka menganggapku sebagai anak yang tak berguna, dan lagi-lagi aku hanya bisa tersedu di kamar, sendirian !
Aku ingin mengadu, ingin mencari orang yang bisa membelaku dan tulisan-tulisanku, tapi nihil. Aku sendirian. Tak ada satu pun kakak-kakakku, teman-temanku, sodara-sodaraku yang bisa ngertiin aku. Mereka sama sekali tak respek dengan menulis. Malah, mereka juga ikut-ikutan memojokkanku.
Kali ini aku benar-benar putus asa. Sekuat tenaga kutinggalkan dunia tulis-menulis. Kusibukkan hari-hariku dengan berolahraga, hang out bersama teman-teman, dan kalau dirumah membantu pekerjaan mama. Kulihat mama senang dengan perubahanku. Meski jujur sakit banget, tapi melihat mama tersenyum dan nggak marah-marah lagi, aku rela...
Hingga masa SMP dan SMU kulewati. Tanpa menulis, tanpa karya, tanpa anything. Alhasil, otakku mati suri. Ide-ide yang dulu mengalir cemerlang bak mata air, kini mampet tak menetes sedikit pun. Masa kuliah kulewati, juga, tanpa menulis. Tanpa kenangan yang bisa kuabadikan hingga akhir hayat. Datar, tak bergairah, dan tak punya makna. Hidupku seperti semu.
Alhamdulillah...skripsi membuat dan memaksaku untuk menulis kembali. Meski terseok-seok, tapi aku sangat amat teramat bahagia bisa menulis lagi. Walaupun bukan menulis diary tapi yang penting menulis. Apalagi, basic ilmuku adalah sosial, sehingga yang kuteliti dan kutulis adalah seputar masalah-masalah sosial di sekitarku. Dan, metode kualitatif murni membuatku bebas berekspresi dan mengeksplorasi tulisanku. Wahhh...asiiik banget. Bahkan lebih asik dari hanya sekadar menulis diary (kayak waktu masih ABG dulu hehehe...). Dengan penuh semangat 45 kutulis skripsiku setiap hari, dan selalu lebih awal dar deadline yang diberikan oleh dosen pembimbingku. Meski, sesaat sebelum ujian, aku tumbang, sakit dan harus opname karena kelelahan mengetik skripsi. Sempat shock juga sih, karena beberapa hari lagi kan jadwal ujianku. Akhirnya, mau nggak mau aku menyerah juga dengan keadaan dan merelakan ujianku ditunda sampai aku sembuh.
Setelah ujian berlalu dan aku lulus, bahkan skripsiku menjadi percontohan dan banyak dipuji dosen-dosen (hehehe...GR banget yah), sejak itu aku mulai bergeliat menulis lagi walaupun nggak setiap hari dan setiap saat, tapi ada lah waktu untuk menulis. Apalagi, sejak aku diterima kerja di telkomsel, kerja jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore, membuat fisikku tak kuat lagi untuk melanjutkan menulis. Paling-paling pulang kerja mandi, makan, trus istirahat. Tapi kadang sebisa mungkin aku paksain untuk menulis juga. Apalagi saat-saat malam hari, ketika aku terbangun dari tidur karena kangen sama seseorang (sekarang sudah jadi suamiku) yang kala itu tengah bekerja di pulau Sumatera, jauh dariku. Kerinduan-kerinduan itu kerap kutuangkan dalam tulisan, entah puisi, curhat, atau cerpen. Dan biasanya, sedikit terobati, lalu ngantuk dan tidur deh...
Bukan hanya itu saja. Saat itu aku sedikit bisa membuktikan pada mama dan bapak bahwa menulis itu bukan kegiatan tak berguna. Alhamdulillah, tulisan pertamaku (essay) dimuat di Jawa Pos, surat kabar besar dan terkenal di Jawa. Mereka bahagia dan bangga juga loh melihat koran yang ada tulisanku itu. Sedikit demi sedikit aku yakin kekakuan mereka dengan dunia menulis mulai mencair. Walaupun sempat juga aku masih kecewa, saat mereka tak mengijinkanku berangkat ke Bandung untuk mengikuti seminar tentang puisi dan satra oleh komunitas penulis di Bandung. Padahal aku diundang langsung oleh pembicaranya loh yang juga seorang penulis senior dari Bandung. Aku kecewa bukan main waktu itu. Sampai-sampai aku menangis terus semalaman. Tak mau makan dan mengurung diri di kamar sebagai bentuk protes pada sikap mama dan bapak. Bukan hanya itu, kesempatanku untuk bisa mempromosikan karya-karyaku pada penulis itu pun kandas begitu saja. Intinya aku sangat kecewa buangets ! Ya...walapun pada akhirnya aku cuma bisa pasrah dan menganggap bahwa mungkin ini memang bukan rejekiku.
By the way aku bekerja hanya setahun, karena aku memutuskan untuk menikah dengan seseorang itu. Kami udah pacaran selama 6 tahun, dan kini saatnya kami mulai menunjukkan keseriusan kami. Alhamdulillah...meski jarak dan waktu memisahkan kami, tapi Allah masih ridho dan kami pun berjodoh. Aku menikah pada tanggal 24 juli 2006.
Begitu selesai acara pernikahan, esoknya aku diboyong oleh suamiku ke pulau Sumatera. Aku tinggal di daerah yang sangat asing dan cukup terpencil. Maklum, suamiku kan kerja di areal perkebunan PTPN 3 sebagai asisten tanaman, so mau nggak mau aku harus ikut hidup di komplek rumah dinas, di kebun.
Awalnya aku sempat stress dengan kondisi ini. Aku, yang biasanya bebas, kini harus terkungkung dengan aturan-aturan yang sangat ketat. Era londo masih kuat di kehidupan masyarakat kebun. Apalagi, akses informasi sangat susah didapat. Tak ada warnet, tak ada koran dan majalah yang biasa kubaca di Jawa. Kalau toh ada, aku harus menempuh jarak berkilo-kilo dulu. Ah, keburu nggak nafsu lagi !
Kerjaanku dirumah ya diam aja. Paling-paling nonton tv. Selebihnya waktuku banyak dihabiskan untuk mengikuti kegiatan ibu-ibu istri karyawan. Tapi aku bersyukur bisa langsung hamil. Paling nggak ada kesibukanku mengurus janin yang ada dalam kandunganku. Seru juga, apalagi ini kan hamil anak pertama jadi agak kikuk-kikuk gimannnaaaa gitu hehehe...lagian aku kan tinggal hanya berdua dengan suamiku. Jauh dari orangtua dan sodara. Komunikasi ya hanya lewat ponsel aja. Biasanya konsultasi sama mama soal kandunganku yang makin lama makin membesar (ya iyalah...)
Dan yup ! kini aku telah dikaruniai seorang puteri kecil yang cantik dan pintar. Usianya sekarang 13 bulan. Udah bisa jalan dan tengah asyik dengan hal-hal yang baru baginya. Kubiarkan dia dengan dunianya. Tak mau aku memaksanya. Karena aku tahu betul betapa sakitnya ketika kita dipaksa untuk tidak melakukan suatu hal yang kita sukai. Buatku, selama apa yang ia lakukan aman, kubiarkan saja. Bahkan kadangkala kubiarkan saja ia memanjat-manjat hingga terjatuh. Aku berharap ia bisa belajar dari jatuh itu dan lama-lama akan mengerti dan bisa. Selama masih dalam batas wajar, it’s okay deh !
Gimana dengan menulis ? Amazing ! Saat ini aku justru semakin produktif menulis loh. Ditengah kesibukanku mengurus suami dan anak, ternyata aku justru lebih bisa menulis. Dan, alhamdulillah aku punya suami yang sangat mengertiiiiiiiiii dengan kesukaanku yang satu ini. Bahkan, ia sangat mendukung. Diberinya aku fasilitas internet dirumah agar aku bisa bebas mengembangkan bakat menulisku. Sampai aku didukungnya untuk sekolah S2. Hasil-hasil karyaku selalu mendapat apresiasi yang baik olehnya. Bahkan dukungan dan pujian tak henti mengalir saat aku berprestasi di lomba-lomba menulis. Tapi seringkali juga ia marah padaku karena aku kurang serius menulis dan kerap rendah diri plus gak percaya diri.
Yang jelas kini aku telah menemukan duniaku lagi. Aku bisa bebas menulis kapanpun, dimanapun, tanpa takut-takut lagi. Bahkan, orangtuaku kini berbalik sangat bangga dan mendukung aku untuk menulis. Mungkin, kini mereka sadar bahwa menulis bukan kegiatan sia-sia. Kita juga bisa berprestasi dengan menulis. Aku tak dendam pada mama. Bagaimanapun juga, aku paham dengan keinginan orangtua. Aku yakin, tak ada maksud mereka untuk menyakitiku. Hanya, mungkin karena mereka tidak mengerti dengan positifnya menulis, maka mereka seperti itu. Buktinya kalau tahu, mereka kini mendukung kok...Buatku tak ada kata terlambat. Menulis tak pernah terbatasi oleh apapun, apalagi hanya usia.
Kini, dalam kondisi sakitpun aku tetap menulis. Saat ini asmaku selalu kambuh pada malam hari dan sudah berlangsung hampir 4 bulan ini. Dengan nafas tersengal-sengal, aku tetap menulis dan menulis. Rasanya kalau ide dalam otak tak segera dikeluarkan seperti pusing dan gelisah terus.
Terima kasih untuk suamiku tercinta Prasetyo Mimboro, S.P yang telah memberi dukungan cinta, kasih, materiil, dan spiritual sepenuh hati dan untuk buah hatiku Keisha Najasyi Rasyifa Mimboro yang telah memberi cahaya terang dan semangat hidup untuk bunda....i love you all...
Semoga dari hari ke hari aku bisa semakin produktif menulis dan selamanya tetap ingin bisa menjadi seorang penulis. Kalau toh tidak aku, aku berharap Keisha bisa mewujudkan harapan dan impianku itu. Amiiiiin.
At last....Keep on writing !!!
Aek Nabara, 15 Juni 2008

Jumat, 13 Juni 2008

100 Tahun Kebangkitan Bangsa, Stop Kemiskinan Moral

Oleh : Fien Prasetyo*

Murung wajah ini mendengar, melihat, dan merasakan muramnya negeri ini. Negeri yang sejatinya elok, tenteram, damai, dan bersahaja, seketika berubah menjadi merah terbakar api anarki, berdarah-darah karena ditikam belati demokrasi tanpa batas.
Lihat saja bagaimana kawan-kawan intelektual kita tak lagi membendung provokasi batin yang membuta dan mentulikan sanubari. Langkah sewenang-wenang, angkuh, dan penuh dengan teror menjadi pilihan demi menyanggupi nafsu batin yang tak terkendali. Katanya, itu bagian dari sebuah demokrasi, bagian dari kebebasan berkehendak sekaligus media untuk mengaspirasikan pikiran yang bertentangan dengan diktaktor-diktaktor dalam gedung pemerintahan. Korupsi, kolusi, nepotisme hampir selalu menjadi alasan untuk membenarkan setiap kekerasan yang terjadi dalam aksi berorasi. Bukan hanya itu, kini hati kecil yang seharusnya masih putih, bersih, turut terkontaminasi emosi dan pikiran-pikiran yang selalu kalut, takut, was-was, dan mudah tersinggung. Sehingga tak ada lagi celah untuk mengambil jalan damai dalam setiap persoalan. Ketahuilah, bahwa hidup kita sudah dirongrong budaya premanisme, dimana kekuatan fisik semata menjadi tameng mencari sumbu sebuah perubahan.
Terlepas dari semua itu, persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang hampir selalu perempuan dan anak-anak menjadi korban. Sepertinya keadilan perempuan telah terkoyak oleh sistem jender yang dominan patriarkhi, sehingga kerap perempuan berada pada posisi yang termarginalkan.
Disisi lain, bencana alam yang terjadi dan lebih disebabkan oleh karena kelalaian manajemen yang tak mengindahkan prinsip-prinsip teknik lingkungan sehingga menjadi sumber malapetaka bagi bumi pertiwi ini. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang bertumpu pada melulu memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya membuat kita terlena dan larut dalam kerja keras tanpa peduli lagi dengan dampak lingkungan yang ada. Kita kerap lupa bahwa sumber daya alam bisa habis, ekosistem sebagai penyeimbang alam bisa punah. Akibatnya, komposisi alam raya kita menjadi tak seimbang, tak selaras lagi. Yang ada, banjir akan menggenang dimana-mana, erosi dan tanah longsor tak terelakkan, kebakaran hutan tiada henti, polusi udara, air, hingga luapan lumpur yang tak terkendali, dan yang terakhir adalah masalah global warming atau pemanasan global yang sudah berada di ambang kritis. Tentu saja ini menjadi sebuah warning bagi kita bahwa alam pun bisa “marah dan protes” dengan segala perlakuan kita selama ini terhadapnya.
Disamping semua permasalahan lingkungan itu, ada lagi persoalan pelik yang tak kalah menyedihkan, dimana generasi-generasi muda penerus negeri ini telah banyak yang terpengaruh oleh budaya-budaya negatif yang merupakan budaya impor sehingga begitu mudahnya terperosok ke dalam lubang setan. Begitu mudahnya terperdaya oleh iming-iming hedonisme yang justru menjerumuskan mereka. Lihat saja bagaimana narkoba bergeliat merasuki jiwa remaja-remaja kita. Seperti tak terkendali, tak terhenti, terus melaju sampai betul-betul merusak masa depan bangsa. Alhasil, negeri ini telah kehilangan berjuta-juta ide cemerlang untuk kemajuan negara hanya karena barang laknat tersebut.
Belum usai masalah narkoba yang makin merajalela, beberapa terakhir ini kita banyak dikejutkan dengan semakin maraknya gambar-gambar dan video-video porno. Ironisnya lagi, gambar dan video itu bukan rekaan alias nyata dan yang menjadi model pada gambar dan video tersebut adalah putra-putri bangsa ! Gambar dan video mesum itu seolah-olah menjadi menu setiap hari. Keberadaan internet semakin melengkapinya. Bahkan beberapa situs justru “berbangga hati” dengan koleksi-koleksi cabulnya. Dengan proses akses yang mudah, “barang dagangan” itu pun laris manis bak kacang goreng.
Fenomena-fenomena yang tersebut di atas ( termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme ) adalah dampak dari kemiskinan. Bukanlah kemiskinan secara materi, tapi lebih pada kemiskinan moral. Ya, bangsa kita saat ini sedang krisis moral, miskin moral. Karakter anak bangsa yang dulu berbudi pengerti luhur telah hilang dan tergantikan dengan karakter-karakter bermental “kulit kacang”, rapuh ! Jika sudah demikian, bangsa kita dipastikan akan terancam pada liang kehancuran. Maukah kita kalau bangsa yang kita cintai ini harus mati dan terkubur dalam-dalam ? Jika tidak, dan kita masih menginginkan bangsa ini terselamatkan, maka sudah saatnya kita berpikir dan bergerak untuk negeri yang sedang “sakit” ini.
Momen 100 tahun kebangkitan bangsa adalah momen yang tepat untuk kita bisa saling merenungi apa yang harus dan sudah kita berikan untuk bangsa ini ? Sejatinya, bangsa Indonesia harus berdiri menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Bukan saatnya kita saling menuding dan menyalahkan. Lebih baik kita bertindak, setidaknya kita lakukan penyelamatan bangsa sebatas kemampuan kita.
Hal yang sesungguhnya, akar dari semua persoalan pelik nan komplek negeri kita adalah terletak pada moral bangsa yang terus terkikis, tergerus ego dan terpengaruh budaya asing. Nyaris tak ada lagi moral santun yang menjadi ciri khas bangsa kita saat ini. Bahkan sering kita merasa “asing” dengan negara kita sendiri.
Oleh karenanya, mari kita selamatkan negeri ini dengan mengentaskan segala bentuk kemiskinan moral. Kita kembalikan lagi karakter bangsa yang “berbudaya timur” dulu. Remaja-remaja kembali belajar ke bangku sekolah, laki-laki dan perempuan kembali pada kodrat dan sama-sama saling menghargai satu sama lain, pengusaha-pengusaha kembali pada penerapan teori manajemen teknik lingkungan, sayangi lingkungan kita dengan memulai pada langkah kecil seperti membuang sampah pada tempatnya, bergotong royong membersihkan lingkungan sekitar, penghijauan, dan stop pembalakan liar. Untuk narkoba dan maraknya gambar dan video porno, perangi dengan mempertebal keimanan pada Tuhan YME, perangi dengan mem-proteksi diri dari budaya-budaya asing yang bertentangan dengan budaya bangsa kita. Sibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang positif sehingga tak ada celah bagi narkoba untuk bisa menelusup ke dalam raga.
Ayo Indonesia !!! Saatnya kita bangkit dari krisis moral bangsa ini ! Temukan kembali jati diri bangsa yang berbudi pengerti luhur. Hidupkan lagi cahaya Indonesia Raya yang semakin meredup. Kita lakukan dimana saja, kapan saja, oleh siapa saja, untuk satu tujuan, Indonesia harus jaya !
Kita tunjukkan pada dunia, bahwa Indonesia bukan negara yang “cengeng”. Indonesia adalah negara yang bermoral Pancasila dan punya generasi-generasi penerus yang bisa diandalkan.
Ketahuilah, bahwa tidak ada yang mustahil. Selama niat itu ada, semangat itu membara, dan doa tiada pernah terputus, kita pasti bisa menyelamatkan bangsa kita dan menjadikannya menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Jadi, apa lagi yang harus kita tunggu ???
***