Rabu, 21 Mei 2008

Tidur tanpa Mimpi

Dingin…angin membiru memburu rusuk
Menelusup diantara anyir menusuk
Mata meredup, nafas menghela, badan membungkuk
Sementara liur tinggal seteguk
Katanya aku ngantuk, tertunduk-tunduk

Mereka bilang, katupkan saja yang sudah sayu
Hembuskan, lalu terbangkan angan mulukmu
Jadi sebuah mimpi selaksa madu
Membiru…memburu…
Bukan rusuk tapi kalbu…

Ah ! untuk apa bermimpi-mimpi ?!
Kalau sudah tidur ya tidur saja
Pejam mata, jadi gelap…gelap…pekat
Sampai waktu menggugahmu, menyentakmu
Hingga lentera raga menyala dengan sendiri

Dan harapan itu ada di sekelilingmu
Cita-cita dan setumpuk cinta menyapa
Ada gelak, isak, diampun jua
Semuanya begitu nyata, bukan sekadar mimpi
Tapi hidupmu jujur untuk kebaikan
Terbuka untuk menerima, dan ikhlas untuk memberi…
@Aek nabara, april 2008

Siang

Terik menghunus ubun-ubun
Menembus hingga jatuh di mata kaki
Langkah menyeret debu…berat…
Menyapu peluh yang luruh di lantai

Bayu angkuh merengkuh sedikit
Tak sampai helai rambut melambai
Diam…sombong…tak menghembus
Leher letih menahan dahaga

Mata sayu meredup dan sedikit nanar
Mengkerut memuntahkan gelegar isi hati
Mengaduh, merintih, menghujat…
Lalu terpekur, telentang di peraduan

Harus panas kemudian lunglai
Harus silau lalu terpejam
Agar beban hari ini menguap lepas
Bersama mimpi di tengah hari
@aek nabara, may, 9th 2008

Nina Bobo

Semilir…hilir mudik…
Angin malam menyapu raut lelahnya
Mengibaskan helai demi helai rambutnya
Membisikkan nyanyian lembut mendesir
Kau tetap lelap berselimut kasih

Hembusan nafas hampir tak terdengar
Melenakanku meniti alunan merdu desahmu
Sesekali tersenyum penuh selaksa rindu
Mimpi mungil teruntai dari balik asa
Kau masih nyenyak dielus cinta

Hari esok masih panjang terbentang
Tapi aura disekujur jiwa ragamu bersinar
Mengajakku berkelana meraih masa depan
Banyak persimpangan melirik…nyinyir…
Kau terus berlari tak peduli aral melintang
Aku berdoa untukmu…nak…
Lalui dunia dengan tangguh dan berani

Tapi sekarang adalah hari ini
Kau masih terpejam dalam ayunan nina bobo
Dan aku, pulas jua memeluk hatimu
Dengan berangkai sayang dan harapan
Menjadi selimut paling hangat untuk tidurmu yang tak terjaga
Malam ini hingga malam-malam esok…
@Aek nabara, 2008

Puisi Keprihatinan

Anak kecil itu terpekur di sudut reot
Matanya nanar dan perutnya membuncit
Bibir terkatup rapat…
Bahkan merintih pun tak sanggup

Sementara itu emak beringas
Bapak merenda simpul temali
Sebilah pisau berkarat menghunus
Sejurus keduanya menggelepar

Seribu mata hanya bisa melihat miris
Tangan berbuat hanya untuk mengelus dada
Kaki melangkah cuma menuju liang lahat
Hati berkasihan dan sekadar turut berduka cita

Sekian waktu berlalu begitu saja
Hembusan angin nan anyir menyeruak
Memanggil siapa saja yang terpanggil
Dan seribu mata itupun datang kembali

Melihat miris lagi
Mengelus dada lagi
Menuju liang lahat lagi
Dan berduka cita lagi

Cuma lalat yang tahu kapan dia mati
Karena lalat selalu mengerubungi
Hingga matanya menutup
Semua masih misteri…
Apa sebabnya mereka mati…???!
@Aek nabara, march 12nd 2008

Masih

Aku hanya bisa menatap nanar
Membisu kelu tanpa hasrat berkata-kata
Sendiri diantara bayang-bayang sendiri
Sepi terkurung jiwa yang patah
Menangis tanpa isak, tanpa airmata…

Sementara riak-riak ramai silih berganti
Mengganggu, merayu, menunggu
Hingga kini dan esok bersua
Sekarang dan nanti memadu
Bosan, marah, seketika menyeruak

Kutampar wajah-wajah munafik
Kupukul lengan-lengan penyikut
Kuinjak kaki-kaki penjegal
Sampai berdarah-darah…
Pedih…perih…luka lebam dan menganga

Tak lagi kupeduli aku
Cermin jua tak mampu menjadi bayanganku
Karena aku tak bisa selamatkan apapun
Ampun yang mengaduh tak menembus sanubari
Hatiku tinggal separuh keeping

Paling tidak masih
Daripada tak punya hati
Seperti mereka…???!

@aek nabara, apryl 29th 2008

Sabtu, 17 Mei 2008

Yang Terabaikan

Terabaikan…
Sulam benang sutera hampir tak terselesaikan
Setiap ujung jarum tak lagi membentuk makna sempurna
Jatuh…luruh…seperti tersapu angin terhempas ke lantai penuh debu

Terabaikan…
Goresan gambar lukisan sang maestro begitu saja
Kanvas tergeletak patah kakinya diantara kusamnya dinding
Merah, kuning, biru, coklat, hitam, tumpah ruah tanpa arti

Terabaikan…
Coretan tinta kelabu terbacakan pilu di kertas putih
Berisi cerita abadi penyandang derita seumur hidup
Sang penulis cuma bisa terpekur di sudut mimpi masa lalu

Terabaikan…
Jejak langkah keras dalam balut perjuangan sesama
Mendapati suara sumbang yang tak pernah didengar
Kini dia tinggal sendiri dalam sia-sia yang menjelma

Terabaikan…
Denting nada sumbang mengiringi waktu demi waktu
Senarnya putus dan tak bisa bersuara lagi
Dawai-dawai tangannya gemetar menahan ragu akan hari esok

Terabaikan…
Cita-cita yang tak jua punya asa
Sedikit demi sedikit pupus bersama angkuhnya anak didik
Kalah oleh jaman, mengalah demi jaman

Terabaikan…
Renta semakin renta berselimut usia tua
Raga tak lagi bersahabat ‘tuk torehkan kesempatan
Tergilas dunia, terbang sekian jauh tak terbatas…
Sungguh dia terabaikan…

Aek Nabara, maret 2008

Potret Bumi Pertiwi, kini…

Tangis bumi pertiwi didera kepedihan nan pilu
Anak bangsa terkapar karena lapar
Penerus negeri terpekur dengan mulut menganga dan nafas tersengal
Jerit meronta-ronta itu bukan dari mulut tapi perut yang membuncit

Hai padi ! kemana kau selama ini ? tak ingatkah kau dengan kami ?
Tak sudikah lagi kau singgah di lumbung kami yang mulai lembab dan berjamur ini ?
Atau kini kau telah terbiasa naik kapal terbang ke negeri seberang ?
Kami rindu setiap butirmu untuk membungkam mulut perutku ini

Buah hati bangsa kerap terabaikan dan tinggal nelangsa
Sedikit demi sedikit…pelan-pelan…yang tersisa hanya jasad mendingin
Bahkan diantaranya terbujur kaku tanpa ada yang tahu
Sungguh miris…sangat sedih…terlalu keterlaluan

Apa yang dibenak mereka hanyalah perlindungan untuk bertahan hidup
Merasa aman berdiam di tanah kelahiran yang tak lain tanah tumpah darah
Bukan acuh tak acuh pemimpin terhadap masa depan generasi bangsa
Bukan pula simbol-simbol kemakmuran semata tercetus

Takkan ada kata pandai untuk negeriku, jika aku tak jua bisa makan
Bebaslah bangsaku dari perilaku santun, bila aku tak juga terobati
Miskinlah tanah airku karena akan semakin kehilangan penerusnya
Bahkan akan mati bersama kami dalam satu lahat

Bangsa…aku cinta padamu…tidakkah kau cinta padaku ?
Negeri…aku ingin membelamu…tapi tidakkah sekarang kau mau membelaku ?
Tanah air…aku ingin mati disini…di bumi pertiwi ini…
Meski aku tahu aku mati (juga) karena kesombonganmu padaku…
Tapi inilah janjiku, kau tanah airku, tanah tumpah darahku…

Aek Nabara, 2008

Tentang Bulan

Malam ini bulan melihat bulan masih sabit
Setengah terperangah bulan ingat ini bulan mei
Bulan gelisah bulan sudah terlambat datang bulan tiga bulan
Kakinya gemetar, tapi bulan bahagia seperti sedang kejatuhan bulan

Bulan mau kangmas membuat pesta malam bulan purnama
Cukup satu bulan saja tak perlu seribu bulan
Persembahan setangkai anggrek bulan, bulan mau

Tapi bulan tak pernah melihat bulan purnama
Bulan seperti punuk merindukan bulan

Bulan pingsan tamu bulanannya selalu tak datang
Bulan menangis karena berbulan-bulan bulan terus menjadi bulan-bulanan

Akhirnya bulan tetap harus menantikan bulan kecil di di bulan November


Aek Nabara, Maret 2008

Bangun !

Silam tangisku memecah sunyi bumi pertiwi
Jadi hingar diantara bingar terdengar
Seperti menjamu tamu anak negeri
Dielu…dipuja…penuh selaksa harap

Aku masih diam meski jiwa merayu
Masih menggeleng tatkala kawan menyeru
Turun ke jalan…
Satu…dua sahabat masih setia padamu
Yang lain sudah digerogoti kebebasan tak terbatas

Lantang…tegap…katanya bela engkau
Bakar mimpi-mimpi busuk yang terlanjur merasuk

Rasanya tak usah tangisi langit negeri
Tak perlu jua menantang mendung bergemuruh
Karena sudah ada angin yang menghalau
Pelangi terkembang memanjang, usai itu…

Bangun saja dari tidur panjang dengan segepok pintalan mimpi
Malu menelusup karena bangsa ini tak pernah terlelap
Selalu terjaga untuk menjaga
Menguntai bhineka menjadi satu asa
Mematri cinta yang terlanjur dirasa
Jauh dalam jiwa ragawi…tak terbalas…

Aek Nabara, 2008