Minggu, 31 Agustus 2008

Saat Hujan Itu Reda…

Langit mendung masih menggelayuti Aek Nabara. Tak lama lagi hujan akan turun. Gemuruh sahut menyahut, memekakkan telinga. Aku masih berdiam di kedai ini. Menikmati secangkir kopi sidikalang panas yang sangat nikmat. Sambil menyelesaikan cerita pendek yang kubuat sejak dua hari yang lalu, rasanya aku tak sanggup bangkit dari bangku kayu ini. Terlalu sayang untuk dilewatkan suasana seperti ini. Ada kopi sidikalang panas, ada laptop, ada tulisan, ada ide yang melayang-layang di otak dan ingin segera dituangkan dalam rangkaian huruf menjadi kata, menjadi kalimat, menjadi paragraf, menjadi sebuah cerita…

Kedai wak Sani ini seperti rumah keduaku. Tempatku mencari inspirasi. Tempatku berbagi kisah setelah seharian penat dengan pekerjaan di kantor. Bahkan tak jarang aku numpang tidur sejenak melepas lelah di bale bambu yang tergelar di belakang

kedai. Semilir angin selalu berhasil menghanyutkan aku ke dalam mimpi-mimpi indah di siang bolong hingga tanpa kusadari matahari telah berlalu dan langit mulai menghambur, sebentar lagi gelap.

Kedai wak Sani ini berdempetan dengan rumah induknya. Tinggal juga di rumah papan ini wak Wadi, suaminya, Lilik anak pertamanya, Eko suami Lilik, Ratna anak ketiganya, Yusuf anak keempatnya, dan Wini serta Lila, cucunya yang juga anak Lilik. Sementara Danang, anak keduanya telah berumah tangga dan tinggal di Aek raso, sekitar seratus kilometer dari aek Nabara ini. Ini yang menjadi salah satu penyebab aku betah berlama-lama di sini. Ramai. Riuh. Gaduh. Selalu itu yang mewarnai kedai dan rumah wak Sani. Wini dan Lila yang kerap mencari perhatian dengan sedikit membuat onar di kedai yang selalu ramai pembeli ini, dan juga Lilik yang tak kalah heboh dengan teriakan-teriakannya melihat keonaran anak-anaknya. Wak sani dengan gaya cueknya tak pernah peduli dengan cucu-cucunya itu. Sibuk melayani pembeli. Sedangkan wak Wadi tak henti-hentinya melawak. Sentilan-sentilan lucu senantiasa membuatku tertawa dan melupakan sesaat rasa jenuh yang mendera.

Suasana inilah yang tak kudapatkan setibanya aku di rumah. Rumah besar nan mewah itu hanya memberiku kebisuan dan sepi. Sendiri. Tanpa kawan. Mungkin, satu-satunya tempatku mencurahkan isi hatiku saat dirumah hanya telepon, menghubungi dan berlama-lama ria mengobrol dengan teman-teman, komputer, bersua dengan sahabat-sahabat dunia mayaku, dan yang terakhir adalah bantal, menikmati mimpi yang kadangkala sengaja kupintal hanya sekadar untuk bisa bertemu dengan ibu di surga atau Sandy, kekasih hati yang telah lama tak ada kabarnya sejak ia memutuskan untuk sekolah ke negeri paman sam, tiga tahun yang lalu.
Sedih memang. Di tengah karirku yang melesat bak meteor. Bahkan terakhir, aku dipercaya untuk memegang jabatan penting di perusahaan. Hidupku masih saja sunyi dan tanpa warna. Semua kesuksesan ini kunikmati seorang diri tanpa bisa aku berbagi dengan orang-orang yang semestinya aku kasihi. Hampa dan sepertinya tak ada arti.

“Ngelamun aja, Jov..” wak Sani membuyarkan lamunanku

Aku tersenyum, “Lagi cari inspirasi wak.” Jawabku alasan

“Nulis apa ?” Tanya wak Sani sambil menggerus cabe

“Cerita wak.” Jawabku sembari menyeruput kopi yang mulai menghangat

“Kereta ngga dimasukin ke teras ? udah mulai gerimis tuh..” suruh wak Sani

Aku melongok ke luar kedai. Ya, gerimis siang ini akhirnya turun juga. Kereta yang kuparkir tepat di depan pintu kedai sedikit basah tersiram air yang turun dari langit mengabu. Aku pun bergegas menaikkan kereta perusahaan ke teras rumah wak Sani. Aman.

“Sudah wak.” Ucapku begitu tiba di dalam kedai

“Nggak makan Jov ?”

“Nggak lapar wak.”

“Ini ada tauco udang. Biasanya kau kan suka.” Wak Sani menunjukkan semangkuk tauco udang kesukaanku.

Aku tak menanggapi. Tak ada selera makanku. Memang, beberapa hari ini lidahku pun ikut-ikutan protes. Terasa kelu dan hilang hasrat makanku. Mungkin, lidah ini juga haus dengan kasih ( ??? )

“Wini sama Lila mana wak ?” tanyaku mengalihkan pembicaraan

“Tadi ke ranto cari sepeda sama mamaknya. Abis si Wini ngerengek terus minta sepeda kayak kakanya Lila. Susah tuh anak. Nggak diturutin bisa hancur semua dagangan kedai ini.”

Aku tertawa kecil, “Namanya anak kecil wak..”

“Nanti kalo kamu ngalamin, punya anak, wah pasti tau rasanya Jov..repot banget..” ucap wak Sani sambil menggodaku

Hatiku menciyut. Boro-boro punya anak. Cari suami aja susahnya minta ampun. Putus asa rasanya kalo teringat part of life yang satu ini.

“Eh, gimana tuh sama bang Yusak ? Ada kelanjutannya nggak ?” wak Sani mulai nge-gosip. Bahkan sampai ditinggalkannya acara memetik sayur kangkung dan memilih nimbrung di dekatku.

“Hhh…mulai deeeh..” potongku cepat

“Loh, wak kan cuma pengen tau Jov..” Wak Sani protes

“Ya nggak gimana-gimana wak..biasa aja kok.” Terangku akhirnya

“Biasa aja gimana ? dia sempet main ke rumah kau Jov ?” Tanya wak Sani antusias. Maklum, bang Yusak, yang ia jodohkan padaku tak lain adalah keponakannya.

“Ya biasa aja wak. Pernah dua kali ke rumah. Tapi aku masih belum niat apa-apa sama dia. Bang Yusak pun kayaknya terlalu pendiam.”

Wak Sani mencibir, “Ah, jangan terlalu memilih lah Jov..mana bisa cepet dapat jodoh kalo semuanya gak ada yang cocok. Namanya orang kan pasti gak ada yang sempurna..”

Aku mengernyitkan dahi, “Iya sih..tapi aku juga perlu milih kan wak..buat aku pernikahan tuh cuma sekali seumur hidup. Makanya aku gak mau gegabah memilih suami. Bahaya. Urusannya dunia akhirat !” sangkalku sok tahu

Wak Sani ngedumel, dan beranjak melayani pembeli. Aku tahu dia kecewa karena tak berhasil menjodohkanku dengan keponakannya. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

Perempuan itu masih berdiri di halte. Hujan yang tak kunjung reda, membuatnya harus segera tentukan pilihan. Nekat menerobos guyuran air hujan yang deras atau tetap bertahan berdiri di sudut halte dengan badan yang semakin menggigil hingga hujan reda. Toh, tak ada yang membuatnya menunggu. Tak ada yang memintanya untuk bertahan disini.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Tak tahu harus kuakhiri dengan keputusan apa bait ceritaku ini. Perempuan itu terlalu naif. Hujan saja seolah membutuhkan keputusan penting dalam hidupnya. Sosok yang sedikit konyol dan mengada-ada. Meski begitu, nyatanya aku kebingungan juga menentukan keputusan itu. Padahal aku yang memiliki hidup perempuan itu. Toh, aku lebih naif dari tokoh cerita yang kubuat ini. Takut, jika nekat menerobos hujan, tiba-tiba datang pangeran hati yang memberi kehangatan di tengah dinginnya hujan. Merapat di sudut halte. Menawarkan persahabatan. Menghabiskan waktu hingga hujan mereda. Dan berlanjut, blab la bla…atau jika bertahan, tiba-tiba tubuhnya bergetar, gelap sekeliling, dan roboh seketika. Jemarinya telah semakin dingin. Kepalanya mulai berbintang. Dan pangeran yang diharapkannya hadir seperti mimpi di siang bolong. Ah !

“Permisi ya..” tiba-tiba seseorang duduk di dekatku

Aku melirik, dan hanya tersenyum

Laki-laki itu mengibas-ngibaskan bajunya yang basah kuyub karena kehujanan. Rambutnya tak kalah basah. Dan kacamatanya memburam membentuk guliran-guliran air. Sementara map kertas yang ia bawa tak jelas lagi bentuknya. Bahkan, tinta yang tertoreh meleleh seperti lukisan abstrak.

Aku menyodorkan seplastik kecil tissue yang memang selalu kubawa di dalam tas kerjaku. Nggak tahu kenapa aku merasa iba dengan laki-laki di hadapanku ini. Kupikir, pasti map yang basah kuyub itu sangat berharga untuknya.

“Terima kasih.” Ucapnya ramah

Diambilnya beberapa helai tissue pemberianku dan diusapkannya pada seluruh bagian wajah dan juga kacamatanya.

“Mas orang sini ?” tanyaku

“oo bukan. Saya dari sigambal.” Jawabnya

“Ini tadi naik kereta ? kan jauh ?”

“Iya, namanya juga lagi kerja. Sejauh apapun dijalani aja.” Tuturnya lugu

Aku tersenyum melihat kepolosan laki-laki ini. Pasti dia seorang sales yang menawarkan produk-produk tertentu. Apalagi pakaiannya juga putih-hitam, trade mark seorang sales *sok tahu banget*

“Wah, mapnya basah tuh mas.” Tunjukku

“Eh, iya…padahal map ini penting banget. Isinya data pelanggan. Tapi ya mau gimana lagi, la udah basah.” Katanya sambil tersenyum pasrah

“Atau datanya mau diketik lagi di laptop saya ?” aku menawarkan diri *busyet dah, baik banget sih diriku*

“Boleh ya ?”

“Ya gak papa mas..daripada besok dimarahin bosnya..ya kan ?” godaku iseng

Laki-laki itu tertawa kecil. Antara ya dan tidak menerima tawaranku. Tapi ada sebersit asa di matanya. Enggak tau kenapa aku senang banget bisa berbuat baik sama orang ini. Rasanya kasihan banget. Aku tau pasti bagaimana pedihnya saat kita dimarahin oleh bos. Padahal tak selamanya kesalahan ada di pihak kita. Tapi bos mana mau tahu ? Baginya pekerjaan beres, itu aja !

“Ngopi ya mas ?” tanyaku semangat

“Nggak, nge-teh aja.”

“Wak Sani, buatkan teh lah untuk mas ini.” Teriakku pada Wak Sani

Wak Sani mencibir, dari kejauhan.

“Kau orang sini ?” akhirnya, dia bertanya juga tentang aku

“Aslinya sih orang jawa timur sana mas. Disini kerja.” Jawabku santai

“Oo..disini sendirian atau udah merit ?”

Aku tertawa geli, “Belum merit kok mas..”

“Oo..” tanggapnya sambil manggut-manggut

Aku nyengir kuda, cuma oo…pikirku sembari menggaruk kepalaku yang tak gatal

Aku kembali pada laptopku. Tulisan belum terakhiri juga. Perempuan dalam dongeng alam imajinasiku masih tetap tak bergeming di halte. Hingga terbersit untuk menampilkan sosok pangeran hati datang tiba-tiba, berteduh di halte dan di pojok yang sama. Menawarkan perkenalan. Menawarkan keakraban. Tapi sang pangeran itu sudah lebih dulu basah kuyub. Tasnya mengucur air. Rambutnya berantakan, dan bajunya lusuh tak karuan. Hingga justru perempuan itu iba padanya dan lebih dulu menawarkan perkenalan. Menawarkan keakraban. Diberikannya jaket jeans miliknya dan diberikan pada laki-laki itu. Tak ada kata-kata. Hanya seulas senyuman. Senyuman yang memiliki berjuta arti. Diantaranya, mengharapkan kasih.

Aku menjitak kepalaku sendiri. “Ah..perempuan ini kan belum kenal laki-laki itu. Masa dia begitu gampangnya mengharapkan kasih. Berlebihan banget deh..” gumamku

Kuhapus kalimat terakhir, menjadi mengharapkan persahabatan.

“Ah, persahabatan juga terlalu dalem…” ucapku lirih

Kuhapus lagi kalimat terakhir itu menjadi mengharapkan pertemanan. Dan kali ini aku tersenyum. Ini lebih pas untuk perempuan dan laki-laki itu. Pertemuan yang tiba-tiba, berbuat baik, lalu berteman…

Pertemanan itu tak berlanjut. Hingga hujan reda, mereka berpisah. Mungkin hanya waktu yang bisa mempertemukan mereka kembali. Karena tak ada hasrat untuk bersua kembali. Tak ada pengharapan untuk berjanji di tempat yang sama. Bahkan esok pun tak di halte itu lagi mereka berteduh. Perempuan itu memilih pulang dengan lambaian tangan dan laki-laki itu tak membalasnya. Hilang diantara deru kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya.

Aku memonyongkan bibirku. Menyesali kenapa pertemanan itu hanya sebatas itu. Padahal perempuan itu ingin berlanjut. Bahkan bisa saja laki-laki itu mengabulkan permintaannya. Bertandang ke rumahnya. Dan…dan…dan…

“Mbak..aku pulang dulu ya. Hujan udah reda. Hari mulai gelap…” tiba-tiba laki-laki di hadapanku itu berdiri dan berpamitan padaku

Aku tersenyum kecut, “O,iya mas..” jawabku sedikit tergagap

Tak lama, ia menghilang bersama laju keretanya. Entah kemana. Menanyakan siapa namanya pun aku tak sempat. Ah !

Kini tinggal aku yang terpana. Mengutuk diriku sendiri yang begitu bodohnya menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depan mataku. Laki-laki itu, aku terkesan olehnya. Perasaan yang tak pernah hinggap saat bertemu dengan laki-laki yang lain. Aaaaahhhh !!! teriakku dalam hati. Kesal luar biasa.

Dan hingga hujan itu reda…perempuan itu tak jua bertemu dengan pangeran hatinya. Sendiri lagi. Sepi lagi. Dan terus mengharap hingga hari esok menjelang. Berharap tanpa kepastian. Berharap dengan putus asa…

Aku mengakhiri cerita itu dengan putus asa. Mungkin perempuan itu kuberi nama Jovanka Ariana…diriku sendiri…Ah !!!

* Sidikalang : kopi khas sumatera utara yg terkenal nikmatnya
* Kereta : Sepeda motor ( bahasa sumut )

Tidak ada komentar: