Senin, 25 Agustus 2008

Cerita tentang Malam

Malam…ada remang cahaya rembulan, ada kerlip bintang kala cerah, ada langit menghampar pekat, ada desir angin yang dingin hingga ke pori kulit, ada sorot lampu-lampu kota yang berwarna-warni, ada warung-warung tenda kaki lima yang menjajakan berbagai hidangan ala kadarnya. Karena mereka, para pedagang sadar, bukan yang terpenting jenis makanan yang dijual, tapi pembeli lebih banyak membeli suasana, membeli pojok lesehan hanya sekadar untuk menikmati malam, seorang diri, beramai-ramai, atau hanya berdua dengan orang terkasih meski cuma ditemani secangkir kopi susu panas dan selembar roti bakar rasa coklat. Sementara, deru mobil dan motor tak henti berlalu lalang diseluruh penjuru jalan raya. Semuanya hingga malam larut…

Pun diriku yang mencoba menikmati malam seperti mereka, selepas maghrib, seorang diri. Berdalih mengisi perut, kulangkahkan kakiku menuju salah satu warung tenda berwarna biru. Menawarkan lesehan, temaram, dan aku tertarik untuk duduk di pojok yang paling pojok. Paling tidak, aku bisa menikmati malam tanpa terganggu dengan sapaan-sapaan teman-teman kuliah yang biasa lewat di sekitar sini seandainya aku duduk di deretan depan atau tengah. Karena aku sedang malas bersapa-sapa.

Seorang perempuan muda berpakaian modis menghidangkan segelas wedang jahe dan omelet dari mi instant yang telah kupesan. Wajahnya sumringah mempersilahkanku menikmati hidangan sederhana itu. Disisi kananku, tampak dua orang muda-mudi, sepertinya seumuranku juga, tengah asyik bercanda sambil sesekali berpandangan. Apalagi sang cewek begitu manja bergelayut di pundak sang cowok. Mesra. Tapi kemesraan itu haruskah menjadi milik umum ? ah, ataukah hanya aku yang cemburu melihat kemesraan itu yang tak kudapat di malam ini maupun malam-malam sebelumnya ?

Tiba-tiba ponsel Nokia jadul yang selalu standby di saku celana jeans-ku berdering. Tak ada lagu-lagu mp3 seperti kebanyakan ponsel canggih jaman sekarang. Yang terdengar hanya dering telepon kriiing..kriiing…itupun bukan midi tapi mono. Sengaja tak kugadaikan ponsel tua ini, karena aku yakin duapuluh tahun ke depan ia akan menjadi barang langka dan banyak dicari kolektor ponsel *halah*

“Halo…” sapaku sedikit malas

“Sas, lagi dimana ?” Tanya di seberang

“Siapa sih ni ? sok akrab deh” Aku balik nanya

“Dirga sas, masa gak kenal suaraku ?”

“Eh, Dirga..sori sori..da apa nih hehehe?”

“Aku lagi di kosanmu nih, tapi kamunya malah gak ada, kemana sih ?”

“Cari makan Ga, ngapain ke kosan Ga ?”

“Ada yang mau aku omongin Sas…”

“Penting yak ? by phone ga bisa yak ?”

“Wah gak bisa Sas…gini deh, kamu bilang lagi dimana, biar aku nyusul kesana ya ?”

Aku terdiam sesaat, haruskah kukatakan dimana aku sekarang ? seberapa pentingkah diriku untuk seorang Dirga ? Laki-laki impianku, teman satu kampus, tapi beda jurusan. Perasaan ini tak boleh kubiarkan tumbuh subur. Akan semakin menyiksaku dalam hari-hari tanpa kepastian, bahkan tanpa tanda-tanda atau firasat sekalipun. Bahkan, kenyataannya Dirga adalah impian semua perempuan di kampus, jelas aku semakin tak istimewa lagi sekalipun dalam ujung mimpiku sendiri. Seketika kutepis rasa itu…

“Duh, sori ya Ga, aku ga bisa ketemuan sekarang.”

“Kenapa Sas ? cuman cari makan kan ?”

“Tadinya…tapi ni sekalian mo ke warnet…sori yaaa..”

“Ya udah aku ikut ke warnet aja, gimana ? atau kamu selesai dari warnet jam berapa ? biar aku jemput ya ?”

Oh God ! sepertinya malam ini aku betul-betul jadi orang penting nih di kehidupan Dirga. Ah Dirga…kenapa cuma malam ini ? kenapa nggak malam-malam lalu kamu juga membutuhkanku ? Ada secerca penasaran menggelayut di otakku. Sebab, Dirga tak seperti biasa. Sassiiii…!!! Udah deh, ga usah ge-er…kali-kali aja Dirga cuma mo minjem duit atau tugas mata kuliah umum. Abis tanda-tandanya mirip ma temen-temen yang sok sibuk nyariin aku, ujung-ujungnya “Aku fotokopi ya diktatnya” atau “Ntar malem aku kembaliin deh tugas ini.” atau “Gajian depan aku bayar deh, seratus ribu aja kok Sas..” hhh..

“Aduh Ga, sori deh ya gak bisa..beneran.”

“Kenapa sih ? atau lagi jalan ma orang ya ?” tanyanya curiga

“Iya Ga, ma Dion.” Jawabku asal. *Dion ???anak siapa tuh?*

“Oh gitu ya..ya udah..gpp, sori ya, ganggu.”

Tuts. Sambungan terputus tiba-tiba.

Tapi, hatiku tak putus bertanya-tanya. Ah, rasanya terlalu naïf aku menyamakan Dirga dengan teman-temanku yang lain. Kepalaku seperti dijatuhi berjuta-juta rasa sesal. Ingin, menghubungi Dirga lagi, dan mengatakan bahwa aku berbohong, dan aku bersedia bukan hanya malam ini tapi juga malam-malam lagi jika ia membutuhkanku. Tapi, mulutku kelu, konsentrasiku buyar, kata-kataku melayang, berhamburan, sampai menyita banyak waktuku malam ini, hanya untuk memikirkan Dirga.

Malam adalah sahabatku. Temanku dalam sebuah perenungan yang kerap melepaskan aku dari segala penat kehidupan. Meski sesaat, tapi malam banyak memberi keindahan. Meski gelap, malam banyak memberi warna. Meski dingin, malam justru menghangatkan jiwaku yang kala dilanda rindu, rindu akan mencinta dan dicintai.

Malam juga yang menghantarku ke peraduan. Menikmati sajian mimpi-mimpi indah yang terpintal begitu saja. Menjadikan bunga tidur hingga menjelang pagi, aku tersadar, malam telah berlalu…

Malam juga menjadi album banyak kenangan indah tercipta. Saat ayah menghadiahkan sepeda motor di hari ulang tahunku yang ke-17 lalu, tepat pukul 20.00. Saat aku menang lomba karaoke 17 agustus-an dan menerima piala terjadi pukul 23.00, lalu saat aku ikut menjadi sukarelawan menolong korban banjir yang melanda kotaku terjadi pukul 21.00, lalu saat aku menemukan selembar uang kertas seratus ribu di jalan *halah, ga penting* pukul 19.00, hingga berjumpa sosok Dirga dan berkenalan juga lewat malam, saat kami sama-sama mengantri di depan mesin ATM. Tapi semua itu hanya sebatas kenangan lalu. Karena tak satupun kenangan itu menjelma menjadi harapan dan kenyataan yang abadi.

Malam ini, aku begitu berharap Dirga masih mencariku, seperti malam kemarin. Sengaja aku lewatkan malam ini di kamar. Menunggui ponsel yang tak jua berdering. Dalam hati, berdoa moga Dirga menghubungi (lagi). Hingga larut malam, lewat tengah malam, dan pagi menjelang, aku tertidur di kursi meja belajar. Didepan batang hidungku, ponsel itu tetap diam membisu. Tak ada jejak-jejak deringnya. Itu berarti, malamku tadi sia-sia…
***

“Sas, ga jenguk Dirga ?” sapa Wulan tiba-tiba, begitu aku memarkir sepeda motor di pelataran kampus

“Kenapa emangnya dia ?” tanyaku sambil melepas helm

“Sekarat tu anak. Tau tu, katanya sih mo coba bunuh diri gitu. Gara-gara cewek.” Jawab Wulan sok tahu

“Jangan nge-gosip deh.” Sahutku cepat

“Suer Sas ! ni lagi berita heboh di kampus. Secara, Dirga tuh ganteng, smart, banyak digilain cewek-cewek, ternyata rela bunuh diri hanya karena cewek ???” Wulan ngomporin

“Serius bunuh diri ? sakit kaliii…???” tanyaku masih ga percaya

“Ya ampun Sas, saksinya tuh si Andi, cowokku yang juga temen satu kosnya Dirga. Si Andi juga yang bawa dirga ke rumah sakit. Abis banyak darah dimana-mana, pergelangan tangannya diiris gitu. Sempet koma juga. Tapi sekarang dah membaik, ga di ICU lagi kok.” Tutur Wulan panjang lebar plus semangat 45

“Kapan kejadiannya Lan ?” tanyaku mulai percaya

“Dua hari yang lalu, tengah malam. Tapi belum ketahuan, siapa cewek yang bisa bikin hatinya keok kayak gitu. Hebat juga tuh cewek ya ???”

“Yakin banget bunuh dirinya karena cewek ?” protesku

“Iya, soalnya di pc-nya ada ketikan yg belum selesai gitu…isinya ttg kekecewaan pada seorang perempuan, tapi ngga da namanya perempuan itu…kira-kira siapa ya..???” gumam Wulan sambil menggaruk-garuk rambutnya yang ngga gatal

Degg ! deuuh..kok aku jadi ge-er banget kalo perempuan itu aku sich ? siapa tau malem itu dia justru pengen curhat aja ttg kekecewaannya itu, dan perempuan itu bukan aku. Ah ! memang bukan aku kok !

“Ya udah…ntar malem kita jenguk dia ya Lan..”putusku kemudian

“Sore aja napa sih ?”

“Malem aja deh, lebih romantis.” Jawabku sambil berlalu

“Romantis ? apa hubungannya yak sama jenguk orang sakit ?” Wulan terbengong-bengong sendiri menanggapi jawabanku
***

Kembali malam bersiap, hadir kembali diantara desah nafasku, mengiringi setiap hariku, melengkapi semua cerita-ceritaku, hingga kembali aku tertidur dalam buai syahdunya. Tapi sebelumnya, ada satu babak cerita yang belum tuntas. Bersambung kayaknya juga ngga mungkin, karena Wulan pasti keki abizz kalo sampe janji jenguk Dirga dibatalkan atau sekadar ditunda. Padahal jujur, malam ini aku merasa teramat lelah. Lelah dengan siang yang begitu terik, lelah dengan tugas-tugas kuliah yang kejar tayang, lelah dengan dosen yang kere, yang beli jam tangan aja ngga bisa, sampe aku harus nunggu lebih dari tiga jam dari janji yang dah dibikin sehari yang lalu *maap ya pak hehehe*, dan yang paling bikin lelah, nanggepin makhluk-makhluk kampus *temen2 maksudnye* yang ribut nge-rapatin rencana mo filtrip. Padahal bukannya mo ke Bali kek, ato ke Singapore kek, atau ke Penang kek…cuma mo ke sebuah kampung kecil yang deket banget lokasinya ma kampus kita. Secara, apanya yang musti dibahas sih ? Tinggal ijin kantor pusat, RT/RW, udah kelar. Transport aja ngga pake, orang kita boncengan masing2 naik sepeda motor kok, yang ngga punya n ngga dapet tebengan yaaa…maap aja jalan kale yeee…itu pun kalo cerdik bisa lewat jalan terobosan n nyampenya bisa lebih cepet daripada yang naik sepeda motor. Hhh…dasar makhluk-makhluk aneh bin ajaib !

Lo, kembali lagi ni mo jenguk Dirga yak ?*sampe lupa* Sementara aku baru selese mandi, Wulan dah rajin banget nungguin di kosan. Mana saltum lagi. Masa mo jenguk orang sakit pake tanktop n hotpant warna ijo ngejrenk gitu si ??? Duh, malu-maluin aja sih..mungkin dianya ngga malu, tapi aku yang malu. Dipikirnya aku lebih stress dari dia karena mau aja berteman dengan orang stress.

“Mo kemana buuk ?” sindirku

“Jenguk Dirga.” Jawabnya mantab, gak da curiga-curiganya kalo aku nyindir dia

“Dingin loh di luar, mending pake jaketku ni.” Kataku seraya melempar jaket jeans ke arahnya

“Nggak dingin kok Sas, tadi aku kesini ngga pake jaket.” Sanggahnya bangga

“Iya tadi, sekarang lain. Udah pake aja. Kalo ngga kita ngga jadi pigi.” Ancamku sedikit geli

Sedikit bersungut, Wulan pun memakai jaket itu.

Rumah sakit itu masih putih, polos, dan berkoridor-koridor. Di ujung sebelah kanan, gedung bertingkat tiga tampak terang benderang. Terlihat berjejer tempat tidur di setiap lantai. Pasti itu kelas biasa alias bangsal. Terlihat juga di luar gedung, puluhan orang menggelar tikar, beratap langit, berselimut dingin, menunggui sanak saudara, kerabat, sahabat, kekasih, anak, dsb dengan penuh kepasrahan. Nampak guratan-guratan wajah nan lelah pada diri mereka. Kasihan…

“Kamarnya dimana Lan ?”

“Pavilyun Mawar nomer lima A. Kayaknya depan itu belok kiri ya…”

Aku mengangguk

“Nah, bener kan. Tinggal kita cari nomer lima A.” teriak Wulan hepi banget.

Setelah beberapa langkah kami menyusuri koridor pavilyun Mawar, akhirnya sampai juga kami di depan kamar bernomor lima A. Entah kenapa, tiba-tiba perasaanku menjadi tak terkendali. Antara sedih, senang, takut, deg-degan, hingga salting tak karuan. Duuh ! aku menjitak kepalaku sendiri.

“Kenapa Sas ? pusing ya ?” Tanya Wulan polos

Aku tak menjawab.

“Yakin ini kamarnya ?” tanyaku memastikan

“Yakiiiiiinnn…” jawab wulan dengan suara sedikit melengking. Cepat-cepat aku membungkam mulutnya.

“Ya udah, kamu duluan yang masuk ya !” kudorong-dorong tubuh mungil Wulan

“Aaahh…engga ah…takut ni..” Wulan mengelak

“Takut apaan ?”

“Abis ngajak ke rumah sakitnya malem-malem sih..kan sepiii…”

“Yee..kebanyakan nonton sinetron !”

“Udah deh, masuk gih…ngga enak diliatin orang-orang lewat. Pikirnya kita lagi ngapain.” Paksaku

Wulan menyerah *memang selalu menyerah kalah yak hehehe*. Perlahan dibukanya pintu kayu sedikit berukir itu. Perlahan pula, tampak seorang Dirga tergolek lemah di tempat tidur. Tak sedang tidur. Ia tersenyum melihat Wulan, meski dipaksakan.

“Masuk aja mba. Temennya Dirga ya ?” seseorang menyapa Wulan

Wulan beringsut masuk, diikuti aku. Saat mengetahui ada aku, Dirga sedikit terkejut. Senyum yang ia berikan untuk Wulan sungguh berbeda dengan yang diberikannya padaku. Getir. Aku berusaha biasa saja. Justru aku lebih penasaran dengan sosok perempuan cantik yang telah lebih dulu ada dalam kamar yang sejuk ini. Cantik dan sepertinya sangat perhatian dengan Dirga. Hatiku menciyut. Pasti perempuan ini yang membuat Dirga rela berbuat begini. Ya Pasti !*sok tau banget*

“Kenalkan, nama saya Windy.” Perempuan itu ramah mengulurkan tangannya yang putih mulus padaku dan Wulan

“Saya Wulan.”

“Sasi.” Jawabku singkat

Tak seberapa lama, Wulan dan Windy telah terlihat akrab. Saling mengobrol dan tertawa. Dan, entah kenapa aku menjadi pendiam. Bahkan terancam membisu. Aku enggan terlibat didalamnya. Kusadari ada cemburu yang menusuk hingga ulu hati. Tatkala, Windy dengan telaten mengelap keringat Dirga atau sekadar menanyakan ingin minum atau tidak. Ups ! aku berusaha membohongi diriku sendiri, tapi aku tetap cemburu, tetap tak ingin kebahagiaan malam ini menjadi milik Windy atau siapapun juga.

Malam semakin menunjukkan harapan. Selalu begitu, dan aku selalu percaya. Dan harapan itu ada di depan mataku saat ini. Sesaat akan pamit pulang, Dirga menahan langkahku dengan menarik separuh tangan kananku. Sakit oleh cengkeraman kuatnya. Tapi pasrah saat ia menarikku untuk mendekat padanya. Wajahnya tirus. Tapi tak serta merta menjadi kabut yang menyelimuti ketampanannya.

Jantungku berdegup kencang. Peluh yang tak seharusnya membasahi bajuku seolah tak tertahan lagi. Ya, aku benar-benar dilanda kegundahan yang luar biasa. Kegundahan yang sama lima tahun silam, saat Ruben menyatakan cinta di taman kota *halah* malam hari jua, dan saat setahun berselang, ia mencampakkanku begitu saja. Sempat menjadi luka menganga yang tak terobati, hingga aku bertemu dengan Dirga, menikmati jatuh cinta dalam hati, terpendam tanpa seorang pun yang tahu. Bahkan diriku sendiri sempat meragukannya dan menepisnya.

“Kamu mau pulang juga Sas ?” suara Dirga seperti mengisi penuh rongga hatiku. Dan suara lembut itu mampu membuatku terpana dan semakin kikuk

“Iya Ga..” jawabku pelan namun berharap Dirga mencegah dan memintaku untuk tetap tinggal menemaninya. Setidaknya malam ini saja.

“Win, mending kamu balik dulu aja ya, istirahat lah, kan dah dari kemarin kamu nungguin aku disini. Sekalian Wulan bareng mobil kamu aja Win, kasihan ntar dia pulang sendiri malem-malem…” ucap Dirga

Sesaat kami semua terdiam. Aku yakin tak satupun yang menyangka Dirga akan mengatakan itu.

Windy tersenyum kecut, “Eh, emm…iya Ga…ya udah, aku pulang dulu ya..” pamit Windy kemudian

Wulan terbelalak, “Jadi Ga, Sasi nginep sini gitu ?”

“Iya. Biar malem ini dia temenin aku disini. Dia harus bertanggungjawab dengan semua ini..” jawab Dirga pasti

“Bertanggungjawab ???” Wulan, lagi-lagi nggak ngeh juga dengan maksud Dirga. Sebelum akhirnya dia pergi juga dengan sejuta pertanyaan tentang ‘tanggungjawab’ *hihihi*

Dan saat ini, hanya ada aku dan Dirga. Saling membisu dalam kerinduan yang teramat sangat. Perlahan Dirga meraih jemariku…

“Kamu pasti sudah tau aku coba bunuh diri..kamu pasti juga udah tau aku bunuh diri karena kecewa dengan seorang cewek…” Dirga membuka pembicaraan

Aku mengangguk pelan, “Iya…di kampus beritanya udah nyebar Ga…”

“Kamu tau siapa cewek itu ?”

Aku menggeleng, “Nggak tau Ga…”

“Namanya Sasi Wurindra.”

“Aku Ga ???” teriakku sambil menunjuk mukaku sendiri

“Iya..siapa lagi ?”

“Kok bisa aku sih Ga ?”

“Harusnya malem itu aku udah niatan mo nembak kamu. Sampe aku bela-belain gak pulang kampung. Padahal hari itu juga ada acara keluarga di Surabaya. Tapi aku inget hari itu kamu ulang tahun kan…makanya aku bersikeras nggak pulang biar dapet momen yang pas buat nembak kamu. Tapi kamunya malah dah nge-date ma cowok lain. Kupikir pasti dia pacar kamu. Karena kayaknya malam itu kamu betul-betul nggak mau ketemu aku…”

Oh my God !!! Geblek bangets sih diriku ! sumpah, aku nggak inget sama sekali hari itu ulang tahunku. Lupa aseli !!!

“Ya ampun Ga…sumpah, aku sendiri lupa lagi ulang tahun…dan baru sekarang aku inget…” ucapku penuh dengan penyesalan

“Jadi, malam itu kamu ngga lagi ngerayain ultah ma pacar kamu ?”

“Tunggu…tunggu…pacar Ga ? pacar yang mana ?”

“Dion ?!”

Sejenak aku terdiam, lalu terkekeh di antara wajah bingungnya Dirga.

“Dion ya Ga ? hihihi…Dion itu ga ada Ga…fiktif ! waktu itu aku bingung mo cari alasan supaya bisa menghindar dari kamu…terlintas nama Dion, ya udah…tercetus deh…” terangku sedikit geli

“Trus kenapa kamu menghindar dari aku ?” suara Dirga kelihatan marah

“Aku…aku cuma ngga ingin setiap malam selalu sendiri dalam sepi, merasakan cinta yang kurasakan sendiri. Aku selalu berusaha mengusir semua itu Ga…membunuh cinta yang sepertinya makin hari makin tumbuh subur, sementara orang yang aku cintai tak sedikitpun memberi celah untukku menikmati firasatnya, meski semuanya belum pasti...”

“Cinta itu aku kan Sas ?”

Aku mengangguk.

“Sas..tau ngga ? sebenarnya aku udah suka sama kamu sejak kita ketemu dan kenalan. Aku selalu berusaha cari tahu tentang kamu. Dan terakhir, aku tahu bahwa kamu sedang terluka karena seseorang. Aku coba menunggu dan sabar sampai luka itu sembuh, karena aku ngga mau menjadi perban untuk membungkus lukamu. Kubiarkan luka itu mengering, dan aku ingin menjadi kulit yang baru tanpa luka lama…”

“Sebenarnya juga Ga…lukaku telah mengering saat ketemu dan kenalan sama kamu…” potongku lirih

Dirga menatapku dengan penuh kasih. Aku terhanyut dalam sorotnya. Malam ini hening.

“Kamu mau kan jadi kekasih aku Sas ?”

Tak ada lagi tempatku untuk bersembunyi dibalik kebimbangan. Karena yang ada kini hanyalah kepastian. Kepastian yang kutunggu-tunggu sekian lama. Malam demi malam…larut menghanyut…dan sekali lagi, malam sudah memberiku ruang terindah dalam hidupku. Tak lagi sendiri, tak lagi sepi, tak jua berkawan saja dengan langit pekat dan bintang..karena malam ini aku perkenalkan pada kalian semua…kekasih hati yang akan menjadi bagian dari kita…dari malam…
***
cerpen *lagi stress nee...*

6 komentar:

meme story mengatakan...

wah.. jago nulis nih..

fien prasetyo mengatakan...

belajar kok me...*tersipu*

Multama Nazri mengatakan...

wah...wah...salut dah salut...
tulisan yang bagus dan indah..alurnya jelas saya pikir dan bahasa yang simple...
salut...salut...

fien prasetyo mengatakan...

trmkasih ya..

catatan salwangga mengatakan...

grat! nice

penceritaan runtut dan rapih. kata-kata lancar abis. penggambaran karakter tokoh, kuat. sosok sas maupun ga tereksplore dengan cukup.

cerpen ini sangat pas untuk pembaca cewek (penulisnya juga cewek sih) melankolis, suka mendayu-dayu.

buat sal, alurnya bisa dicepetin dikit gak? satu lagi, saat sal baca narasi pembuka, paragraf awal sebelum dialog. kelamaan. yang masih agak ganjil adalah, masak tokoh ga yang baru mau pertama nembak, langsung bunuh diri. padahal diceritakan sebelumnya ga begitu gigih menggali informasi tentang sas.

fien, buatin sal cerpen tentang badungnya (pinter) bocah umu 2,5 tahun yang bikin stress bapaknya dong...

sal tunggu ya

fien prasetyo mengatakan...

wuaa..pdhl sebenernya tu cerita versi asli masih pnjg bgt (21 halaman), cm banyak di edit n yg ngedit ga profesional pula (diriku sendiri hehehe)makanya alurnya agak "terburu-buru" ya ??? kesannya jd "serba dipaksakan selesai" iya kan ??? tq masukannya..soal cerpen ttg badungnya plus cerdasnya bocah,hmmm..kisah nyata ni pasti yak ???