Sabtu, 17 Mei 2008

Potret Bumi Pertiwi, kini…

Tangis bumi pertiwi didera kepedihan nan pilu
Anak bangsa terkapar karena lapar
Penerus negeri terpekur dengan mulut menganga dan nafas tersengal
Jerit meronta-ronta itu bukan dari mulut tapi perut yang membuncit

Hai padi ! kemana kau selama ini ? tak ingatkah kau dengan kami ?
Tak sudikah lagi kau singgah di lumbung kami yang mulai lembab dan berjamur ini ?
Atau kini kau telah terbiasa naik kapal terbang ke negeri seberang ?
Kami rindu setiap butirmu untuk membungkam mulut perutku ini

Buah hati bangsa kerap terabaikan dan tinggal nelangsa
Sedikit demi sedikit…pelan-pelan…yang tersisa hanya jasad mendingin
Bahkan diantaranya terbujur kaku tanpa ada yang tahu
Sungguh miris…sangat sedih…terlalu keterlaluan

Apa yang dibenak mereka hanyalah perlindungan untuk bertahan hidup
Merasa aman berdiam di tanah kelahiran yang tak lain tanah tumpah darah
Bukan acuh tak acuh pemimpin terhadap masa depan generasi bangsa
Bukan pula simbol-simbol kemakmuran semata tercetus

Takkan ada kata pandai untuk negeriku, jika aku tak jua bisa makan
Bebaslah bangsaku dari perilaku santun, bila aku tak juga terobati
Miskinlah tanah airku karena akan semakin kehilangan penerusnya
Bahkan akan mati bersama kami dalam satu lahat

Bangsa…aku cinta padamu…tidakkah kau cinta padaku ?
Negeri…aku ingin membelamu…tapi tidakkah sekarang kau mau membelaku ?
Tanah air…aku ingin mati disini…di bumi pertiwi ini…
Meski aku tahu aku mati (juga) karena kesombonganmu padaku…
Tapi inilah janjiku, kau tanah airku, tanah tumpah darahku…

Aek Nabara, 2008

Tidak ada komentar: